Tuesday 10 July 2012

kepemiminan kepala skolah


KEPROFESIONALISME KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN MUTU PENDIDIKAN DI SEKOLAH

Oleh
Deni Ermanto & Meylita Sari


Abstrak
Dalam dunia pendidikan kepala sekolah adalah pemegang peranan penting. Keprofesionalisme kepala sekolah sangatlah dibutukan demi meningkatkan mutu pendidikan di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah pun sangat berpengaruh dalam peningkatan mutu yang ditargetkan oleh sekolah. Kreteria kepala sekolah pun berpengaruh terhadap peningkatan mutu sekolah. Menurut Syaiful Sagala(2011: hal 124)Kualitas dan produktifitas pemimipin harus mampu memperhatikan perbuatan profesional yang bermutu. Chaplin (1989) mengemukakan kemampuan ( competence ) adalah kelayakan untuk melaksanakan tugas, keadaan mental memberikan kualifikasi seseorang untuk berwewenang dan bertanggung jawab atas tindakannya atau perbuatannya. Keberhasilan sekolah pengelolaannya ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah,yaitu melakukan pengorganisasian secara sistematis, dan komitmennya terhadap perbaikan pengelolaan sekolah dalam wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin. 
Kata kunci : profesionalisme, kepemimpinan kepala sekolah, kriteria kepala sekolah, peningktan mutu


Sekolah sebagai lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah. Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dari inovator di sekolah. Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan sekolah. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan untuk memberdayakan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk mencapai tujuan sekolah.
Departemen Pendidikan Nasional memperkirakan 70 persen dari 250 ribu kepala sekolah di Indonesia tidak kompeten. Berdasarkan ketentuan Departemen, setiap kepala sekolah harus memenuhi lima aspek kompetensi, yaitu kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Namun, hampir semua kepala sekolah lemah di bidang kompetensi manajerial dan supervisi. “Padahal dua kompetensi itu merupakan kekuatan kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik,” kata Direktur Tenaga Kependidikan Surya Dharma kepada wartawan di Jakarta kemarin.
Kesimpulan ini merupakan temuan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional setelah melakukan uji kompetensi. Direktorat Peningkatan Mutu melakukan uji kompetensi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah. Lebih dari 400 kepala sekolah dari lima provinsi mengikuti tes tersebut. Untuk memastikan temuan itu, uji kompetensi kembali dilakukan pekan lalu terhadap 50 kepala sekolah sebuah yayasan pendidikan. “Hasilnya sama saja,” kata Surya.
Banyaknya kepala sekolah yang kurang memenuhi standar kompetensi ini tak terlepas dari proses rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah yang berlaku saat ini. Di sejumlah negara, kata Surya, untuk menjadi kepala sekolah, seseorang harus menjalani training dengan minimal waktu yang ditentukan. Ia mencontohkan Malaysia, yang menetapkan 300 jam pelatihan untuk menjadi kepala sekolah, Singapura dengan standar 16 bulan pelatihan, dan Amerika, yang menetapkan lembaga pelatihan untuk mengeluarkan surat izin atau surat keterangan kompetensi.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pengangkatan kepala sekolah menjadi kewenangan penuh bupati atau wali kota. “Kewenangan tersebut menjadikan bupati atau wali kota seenaknya saja menentukan kepala sekolah,” ujarnya. Selain itu, proses pengangkatannya jarang disertai pelatihan. Ia berharap kepala daerah kembali menggunakan standar kompetensi dalam memilih dan mengangkat kepala sekolah.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Yanti Sriyulianti menyatakan perekrutan kepala sekolah memang tidak profesional. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya sekolah yang tidak berkualitas. Ia memberi contoh perekrutan kepala sekolah di Subang, Jawa Barat, yang cenderung tertutup. “Proses yang tertutup seperti itu bisa saja terjadi di tempat lain dan dapat diindikasikan sebagai salah satu bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Yanti kemarin. Menurut dia, perlu perubahan manajemen dan regulasi yang lebih transparan dan akuntabel untuk memperbaikinya.
Agar fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar, pengalaman, pelatihan dan pengetahuan profesional, serta kompetensi administrasi dan pengawasan. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan dalam menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sehingga guru-guru dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan siswa dapat belajar dengan tenang. Di samping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat bekerja sama dengan bawahannya, dalam hal ini guru. Kepala sekolah mampu mengelola dan memberdayakan guru-guru agar terus meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga merupakan mitra kerja kepala sekolah dalam berbagai bidang kegiatan pendidikan dapat berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan meningkatkan kinerjanya.


PEMBAHASAN
A.    PROFESIONALISME
Kusnandar (2007:46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang”. Sementara Sudarwan Danin (2002:23) mendefinisikan bahwa: “Profesionalisme adalah komitmen para anggota suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus mengmbangkan strategi-strategi yang digunakanny dalam melakukan pekerjaan sesuai dengan profesinya itu Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala (2005:199) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah “sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dapat tercapai secara berkesinambungan.
Lucy Steiner and Julie Kowal(2007) dipenelitiannya mengungkapkan bahwa “Professional development is instructive with regard to designing and implementing an effective instructional coaching strategy. It reinforces the need to have coaches work directly with teachers over time, and it suggests that coaching activities focused on academic content have a stronger probability of impacting student learning — the overarching goal of all professional development activities. It also suggests that coaches are more effective when they are kept in the loop on other reform efforts so they can align their work with state and district priorities. This finding presents a scheduling challenge for administrators who wish to balance the need to have coaches attend meetings and be informed participants in overall reform efforts with the need to ensure that coaches have the time they need to work with teachers”. Yang artinya sebagai berikut: “pengembangan profesional adalah instruktif dalam hal merancang dan menerapkan strategi pembinaan yang efektif instruksional. Ini memperkuat kebutuhan untuk memiliki pelatih bekerja secara langsung dengan guru dari waktu ke waktu, dan ini menunjukkan bahwa pembinaan kegiatan difokuskan pada konten akademik memiliki probabilitas yang lebih kuat mempengaruhi belajar siswa - tujuan menyeluruh dari semua kegiatan pengembangan profesional. Hal ini juga menunjukkan bahwa pelatih lebih efektif ketika mereka disimpan di loop pada upaya reformasi lainnya sehingga mereka dapat menyesuaikan pekerjaan mereka dengan prioritas negara dan kabupaten. Temuan ini menghadirkan tantangan penjadwalan untuk administrator yang ingin menyeimbangkan kebutuhan untuk memiliki pelatih menghadiri pertemuan dan menjadi peserta informasi dalam upaya reformasi secara keseluruhan dengan kebutuhan untuk memastikan bahwa pelatih memiliki waktu yang mereka butuhkan untuk bekerja dengan guru”.
Manurut Nina Oktarina (2009) Keberhasilan sekolah dalam mencapai visinya banyak dipengaruhi oleh kemampuan profesional kepala sekolah sebagai unsur yang terpenting di sekolah. Kemampuan profesional kepala sekolah itu akan terlihat dari berbagai upaya kepala sekolah dalam memberdayakan semua sumber daya yang tersedia di sekolah. Berkaitan dengan profesional, bahwa secara popular seorang pekerja profesional dalam bahasa keseharian diberi predikat profesional. Seorang pekerja professional dalam bahasa keseharian tersebut seorang pekerja yang terampil dan cakap dalam kerjanya, biarpun ketrampilan atau kecakapan sekedar produk dari fungsi minat dan belajar dari kebiasaan. Pengertian jabatan professional dituntut menguasai visi yang mendasari ketrampilannya yang menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan rasional dan memiliki sikap yang positif dalam melaksanakan serta memperkembangkan mutu karyanya (T. Raka Joni, 1980 : 6). Selanjutnya V.V. Good (1973 : 440) menjelaskan bahwa ciri pekerjaan yang berkualitas profesional dituntut memenuhi persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak yang berwenang serta mendapat pengakuan dan masyarakat negara.
Dari uraian-uraian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa suatu jabatan dikatakan profesional karena telah memenuhi ketiga syarat yang disebutkan di atas. Karena itu secara rinci jabatan profesional itu dapat ditetapkan sebagai berikut : (1) bagi para pelakunya secara de. facto dituntut berkecakapan kerja (berkeahlian) sesuai dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya; (2) Kecakapan atau keahlian seorang pekerja profesional bukan sekedar hasil pembiasan atau rutin yang terkondisi, tetapi perlu disadari oleh wawasan keilmuwan yang mantap, jadi jabatan profesional menuntut pendidikan prajabatan yang terprogram seara relevan dan berbobot, terselenggara secara efektif dan efisien, dan tolak ukur evaluatifnya terstandar; (3) pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh kerangka nilai tertentu bersikap positif terhadap jabatan dan perannya dan bermotivasi dan berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya. Hal ini akan mendorong pekerja profesional yang bersangkutan untuk selalu meningkatkan diri serta karyanya. Orang tersebut secara nyata mencintai profesinya dan memiliki etos kerja yagn tinggi; dan (4) Jabatan profesional perlu mendapat dari masyarakat atau negara, dalam hal ini pendapat atau tolak ukur yang dikembangkan oleh organisasi profesi sepantasnyalah dijadikan acuan. Secara tegas bahwa jabatan profesional memiliki syarat-syarat serta kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya. Hal ini akan menjamin kepantasan berkarya dan sekaligus merupakan tanggung jawab sosial pekerja professional yang bersangkutan.

B.     KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran kuat dalam mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.
Kepemimpinan biasanya didefinisikan oleh para ahli menurut pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan.
Menurut Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses yang mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Definisi tersebut mencakup upaya yang tidak hanya untuk mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan kelompok atau organisasi yang sekarang tetapi definisi ini dapat juga digunakan untuk memastikan bahwa semuanya dipersiapkan untuk memenuhi tantangan masa depan.
Menurut Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan dalam pencapaian tujuan organisasi. Tye (Boloz and Forter, 1980) mengungkapkan bahwa “leadership is compused of four dimensions: (1) goal attainment of the school; (2) human processes with in school; (3) the socio-political context within which the school operates; (4) self-understanding”. Kepemimpinan disusun oleh empat dimensi yaitu: (1) pencapaian tujuan sekolah; (2) proses humanisasi di sekolah; (3) kontek social politik dalam penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri.
Menurut Purwanto( 2007: 26)Kepemimpinan adalah kesanggupan atau teknik untuk membuat sekelompok orang bawahan dalam organisasi formal atau para pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati segala apa yang dikehendaki, membuat bawahan antusias dan mengikuti pemimpin serta rela berkorban untuknya
Berdasarkan uraian tentang definisi kepemimpinan di atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki seseorang dan pada gilirannya akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi. Peranan penting dalam kepemimpinan adalah upaya seseorang yang memainkan peran sebagai pemimpin guna mempengaruhi orang lain dalam organisasi/lembaga tertentu untuk mencapai tujuan.
Studi kepemimpinan yang terdiri dari berbagai macam pendekatan pada hakikatnya merupakan usaha untuk menjawab atau memberikan pemecahan persoalan tentang kemungkinan seseorang menjadi pemimpin yang baik dan mampu memajukan organisasi yang dipimpinnya, seperti dijelaskan dalam jurnal:
“…The research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief, it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate training. But no element of an instructional coaching program is more important than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty, and its students. Engaging in the processes outlined previously—determining goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and sustaining the program with time and support—will help ensure that a coaching program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the principal understand the needs of students and teachers and the best strategies to meet these needs…”
(www.centerforcsri.org The center for comprehensive school reform and improvement, “Principal as Instructional Leader”. September 2007)

Menurut Mulyasa (2003: 108), untuk memahami kepemimpinan, dapat dikaji dari tiga pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku dan pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tersebut:
a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori kepemimpinan melalui identifikasi sifat-sifat seorang pemimpin yang berhasil dalam melaksanakan kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Seperti dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto (2007: 31): "The hereditary approach states that leaders are bom and note made- that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it" yang artinya pemimpin adalah dilahirkan bukan dibuat bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan untuk memimpin, tetapi mewarisinya.
Menurut Tead dalam Mulyasa (2003:109) menjelaskan, seorang pemimpin memiliki sifat-sifat bawaan yang membedakannya dari yang bukan pemimpin. Adapun beberapa syarat yang harus dimiliki pemimpin yaitu: (1) kekuatan fisik dan susunan syaraf; (2) penghayatan terhadap arah dan tujuan; (3) antusiasme; (4) keramahtamahan; (5) integritas; (6) keahlian teknis; (7) kemampuan mengambil keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10) kepercayaan.
Pendekatan sifat tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan di sekitar kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini dalam menjawab pertanyaan seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan banyak kritikan.
b. Pendekatan perilaku (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan dan mengidentifikasi perilaku yang khas dari pemimpin dalam kegiatannya mempengaruhi orang lain. Berkaitan dengan pendekatan perilaku, Universitas negeri Ohio (Ohio State University) mengemukakan adanya dua macam perilaku kepemimpinan yaitu initiating structure (pemrakarsa struktur tugas) dan consideration (perhatian kepada bawahan). Keefektifan seorang pemimpin terlihat dari dua jenis perilaku dalam menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama ialah sampai sejauh mana seorang pimpinan memberikan penekanan pada peranannya selaku pemrakarsa struktur tugas yang akan dilaksanakan oleh para bawahannya. Kedua, sampai sejauh mana dan dalam bentuk apa seorang pimpinan memberikan perhatian kepada bawahan. Dalam studi ini yang dimaksud dengan pemrakarsa struktur ialah sampai sejauh mana seorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya dan peranan bawahannya dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Purwanto (2007: 36) perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi memiliki ciri-ciri yaitu: (1) mengutamakan tujuan tercapainya organisasi; (2) mementingkan produksi yang tinggi; (3). mengutamakan penyelesaian tugas menurut jadwal yang telah ditetapkan;    (4) lebih banyak melakukan pengarahan; (5) melaksanakan tugas dengan melalui prosedur kerja yang ketat; (6) melakukan pengawasan yang ketat;   (7) penilaian terhadap bawahan semata-mata berdasarkan hasil kerja.
Menurut Purwanto (2007: 36) Perilaku kepemimpinan konsiderasi (perhatian kepada bawahan) yaitu: (1) memperhatikan kebutuhan bawahan; (2) berusaha menciptakan suasana saling percaya; (3) berusaha menciptakan suasana saling menghargai;  (4) simpati terhadap perasaan bawahan; (5) memiliki sikap bersahabat; (6) menumbuhkan peran serta bawahan dalam pembuatan keputusan dan kegiatan lain; (7) mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, dan pengontrolan diri. Antara kedua perilaku kepemimpinan tersebut tidak saling bergantung. Artinya pelaksanaan dari perilaku kepemimpinan yang satu tidak mempengaruhi perilaku yang lain. Antara perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan demikian seorang pemimpin dapat menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.
“…The model of authentic leadership introduced triumvirate that includes self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It serves as the bridge between the individual and the collective self or social identity and is associated with group membership and group process (Tajfel & Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are embedded in the spiritual identity system. The model assumes that authentic leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the group prototype by developing a stable leader identity system or by shifting social identification to a group that is more congruent with the self-identity system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…”
(www.ldi-intl.com  Authentic Leadership: A Self, Leader, and Spiritual Identity Perspective”. International Journal of Leadership Studies, Vol. 3 Iss. 1, 2007, pp. 68-97)
Prinsip kepemimpinan menurut hasil Universitas Michigan pada prinsipnya sama dengan hasil penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya kecenderungan perilaku pemimpin yang berorientasi pada bawahan dan orientasi produksi (Sondang, 2003: 124). Beberapa perwujudan perilaku pimpinan dengan orientasi bawahan adalah: penekanan pada hubungan atasan bawahan, perhatian pribadi pimpinan pada pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima perbedaan-perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku yang terdapat dalam diri bawahan tersebut. Sedangkan perilaku pimpinan dengan orientasi produksi adalah: cenderung menekankan segi-segi teknis dari pekerjaan yang harus dilakukan oleh para bawahan dan kurang pada segi manusianya, pertimbangan utama diletakkan pada terselenggaranya tugas, baik oleh orang per orang dalam satuan kerja tertentu maupun oleh kelompok-kelompok kerja yang terdapat dalam organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas di atas pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut unsur manusia dalam organisasi.
c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini kepemimpinan lebih merupakan fungsi situasi daripada sebagai kualitas pribadi dan merupakan suatu kualitas yang timbul karena interaksi orang-orang dalam situasi tertentu (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan kepemimpinan situasional dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berdasarkan teori-teori kepemimpinan sebelumnya. Tiap organisasi memiliki ciri-ciri khusus dan unik sehingga masalah yang dihadapi berbeda, situasinya berbeda, dan harus dihadapi dengan perilaku kepemimpinan yang berbeda sesuai situasi organisasi tersebut.
Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan tiga dimensi, yang didasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu perilaku tugas (task behavior), perilaku hubungan (relationship behavior) dan kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan tertentu, apa yang harus dikerjakan, bilamana dan bagaimana mengerjakannya, serta mengawasi mereka secara ketat. Perilaku hubungan merupakan ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi dua arah yang meliputi mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan masalah. Adapun kematangan adalah kemampuan dan kemauan anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya.
Menurut teori ini kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat kematangan anak buah. Makin matang anak buah, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan menambah perilaku hubungan. Apabila anak buah bergerak mencapai rata-rata tingkat kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan sudah dapat mandiri, pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang kepada anak buah.
Gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan dalam keempat tingkat kematangan anak buah dan kombinasi yang tepat antara perilaku tugas dan perilaku hubungan adalah yaitu: gaya mendikte (telling), gaya menjual (selling), gaya melibatkan diri (participating), gaya mendelegasikan (delegating)
Mantja (2005: 54) secara lebih ringkas menyatakan bahwa melalui perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang mengacu pada perilaku yang berorientasi pada tugas dan perilaku yang berorientasi pada bawahan, akan membentuk sikap yang berkaitan dengan bagaimana para guru berperilaku dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tindakan dan gaya kepemimpinan kepala sekolah mempengaruhi motivasi memimpin guru dalam menyelenggarakan peran kepemimpinan secara efektif. Kepala sekolah yang lebih berfungsi sebagai manajer dari pada pemimpin pengajaran memiliki sekolah-sekolah yang kurang sukses dari pada yang bekerja secara dekat dengan guru-guru dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah seperti yang dinyatakan oleh Syafarudin (2002: 67) memberikan otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan serta meningkatkan penghargaan terhadap pekerjaan guru.
Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan pada umumnya mengacu pada dua dimensi yaitu berorientasi pada tugas (task oriented), agar tugas-tugas yang diberikan pada bawahan bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi pada tugas, kepala sekolah juga harus menjaga hubungan kemanusiaan dengan bawahannya (berorientasi pada bawahan), agar mereka tetap merasa senang dalam melaksanakan tugasnya. Namun derajat perilaku tersebut bervariasi, sehingga ada kepala sekolah yang memiliki perilaku berorientasi tugas dan perilaku berorientasi pada bawahan yang keduanya tinggi, tetapi ada pula yang keduanya rendah dan ada pula yang rendah pada satu perilaku dan tinggi pada perilaku lainnya. Karena itu berbagai perilaku kepemimpinan kepala sekolah akan dipersepsi oleh guru sebagai bawahannya dan selanjutnya akan membentuk sikap atau perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku dalam bekerja sehari-hari.

C.    KRITERIA KEPALA SEKOLAH
            Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: 85) Guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah harus memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain, kepala sekolah merupakan guru yang mendapat tugas tambahan sebagai “kepala sekolah”. Kriteria tersebut berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi, pengangkatan, masa kerja dan lain – lain.
Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: 85-86) Di dalam PP No. 19 Tahun 2005 disebutkan syarat – syarat untuk menjadi kepala sekolah sebagai berikut:           
1.      Kriteria untuk menjadi kepala TK/RA meliputi :
a.       Berstatus sebagai guru TK /RA
b.      Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan undang – undang yang berlaku
c.       Memiliki pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 3 (tiga) tahun di TK / RA
d.      Memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.                 
2.      Kriteria untuk menjadi kepala SD / MI meliputi
a.       Berstatus sebagai guru SD /MI
b.      Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan undang – undang yang berlaku. 
c.       Memiliki pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun di SD /MI
d.      Memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
3.      Kriteria untuk menjadi kepala SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK meliputi
a.       Berstatus sebagai guru SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK.
b.      Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan undang – undang yang berlaku. 
c.       Memiliki pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun di SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK
d.      Memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
4.      Kriteria untuk menjadi kepala SDLB/SMPLB/SMALB meliputi
a.       Berstatus sebagai guru pada satuan pendidikan khusus
b.      Memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan undang – undang yang berlaku. 
c.       Memiliki pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun di satuan pendidikan khusus
d.      Memiliki kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
Persyaratan Kepala Sekolah 
            Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: 100) Dilihat dari sisi persyaratan, Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tanggal 17 April 2007 telah menetapkan standar kepala sekolah / madrasah.
Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: hal 100)Standar ini lebih luas dan komprehensif dibandingkan dengan standar sejenis yang diatur di dalam PP No. 19 Tahun 2005. Versi Permen ini, standar kepala sekolah/ madrasah di sajikan sebagai berikut:  
Standar Kualifikasi dan Pengalaman
1)      Kualifikasi Kepala Sekolah/ Madrasah terdiri atas Kualifikasi Umum dan Kualifikasi Khusus.
2)      Kualifikasi Umum Kepala Sekolah/ Madrasah adalah sebagai berikut:
a.       Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau non kependidikan pada perguruan yang terakreditasi.
b.      Pada waktu diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi – tingginya 56 tahun.
c.       Memiliki pengalaman belajar sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenjang sekolah masing – masing, kecuali di TK/RA memilki pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 3 ( tiga) tahun.
d.      Memiliki pangkat serendah – rendahnya III/c bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi non- PNS disertakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang.
3)  Kualifikasi Khusus Kepala Sekolah/ Madrasah adalah sebagai berikut:
a.       Kepala Taman Kanak – Kanak/ Radhatul Athfal (TK/RA) adalah sebagai berikut:
v  Berstatus sebagai guru TK/RA
v  Memiliki sertifikasi pendidikan sebagai guru TK/RA
v  Memiliki sertifikasi kepala TK/RA yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah.
b.      Kepala Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) adalah sebagai berikut:
v  Berstatus sebagai guru SD/MI
v  Memiliki sertifikasi pendidikan sebagai guru SD/MI
v   Memiliki sertifikasi kepala SD/MI yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah.
c.       Kepalah Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTS) adalah sebagai berikut:
v  Berstatus sebagai guru SMP/MTS
v  Memiliki sertifikasi pendidikan sebagai guru SMP/MTS
v  Memiliki sertifikasi kepala SMP/MTS yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah.
d.      Kepalah Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (SMA/MTs) adalah sebagai berikut:
v  Berstatus sebagai guru SMA/MTs
v   Memiliki sertifikasi pendidikan sebagai guru SMA/ MTs
v  Memiliki sertifikasi kepala SMA/MTs yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah.
e.       Kepalah Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan ( SMK/MAK) sebagai berikut:
v  Berstatus sebagai guru SMK/MAK
v  Memiliki sertifikasi pendidikan sebagai guru SMK/ MAK
v  Memiliki sertifikasi kepala SMK/MAK yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah.
f.       Kepalah Sekolah Dasar Luar Biasa/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa/ Sekolah Menengah Atas Luar Biasa( SDLB/SMPLB/SMALB) adalah sebagai berikut:
v  Berstatus sebagai guru SDLB/SMPLB/SMALB
v  Memiliki sertifikasi pendidikan sebagai guru SDLB/SMPLB/SMALB
v  Memiliki sertifikasi kepala SDLB/SMPLB/SMALB yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah.
g.      Kepala Sekolah Indonesia Luar Negeri adalah sebagai berikut:
v  Memiliki pengalaman sekurang – kurangnya 3 tahun sebagai kepala sekolah.
v  Memiliki sertifikasi pendidikan sebagai guru pada salah satu satuan pendidikan.
v  Memilki sertifikasi kepala sekolah yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan Pemerintah.

D.    PENINGKATAN MUTU
Menurut B.P. Sitepu (2007) Terdapat berbagai  pendapat  tentang  pengertian  mutu  pendidikan  dan  masing-masing pendapat didasarkan  pada sudut pandang dan kondisi yang berbeda.  Sallis (1994)  misalnya,  menyebutkin setidak-tidaknya ada 11  faktor  yang  dapat  dijadikan  acuan  untuk  mutu  pendidikan,  yaitu:  (1)  gedung yang terawat  baik,  (2)  guru  yang  bermutu,  (3)  nilai-nilai  moral  yang  tinggi,  (4)  hasil  ujian  yang  sangat baik, (5) spesialisasi program  dan produk, (6) dukungan orang tua,  (7)  sumber  belajar  yang  baik,  (8)  penerapan teknoloi yangmutakhir, (9)  kepemimpman yang kuat dm terarah,  (10)  kepedulian  dan  perhatian  terhadap  peserta  didik,  dan  (1 1)  kurikulum  yang  seimbang,  atau  beberapa kombinasi dari faktor-faktor  tersebut.  Sedangkan  Morrison,  Mohaski & Cotter (2005) menemukan  indikator  mutu  pendi-dikan  yang  diielompokkan ke dalam 10 kategori,  yaitu: (1) lingkungan fisik yang kaya  dan merangsang, (2) iklim kelas yang  kondusif  untuk  belajar,  (3)  harapan  yang  jelas  dan  tinggi  para  peserta  didik, (4) pembelajaran yang koheren  ffan berfokus, (5) wacana ilmiah yang  merangsang  pikiran,  (6)  belajar  otentlk,  (7)  asesmen  diagnostik  belajar yang teratw, (8) membaca dan  menulis  sebagai  kegiatan  yang reguler, (9) pemikiran yang matematis, (10) penggunaan teknologi secara efektif.
Menurut B.P. Sitepu (2007) Faktor  yang  mempengaruhi  mutu  pendidikan termasuk  (a)  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknolgi, (b) pengaruh globalisasi, (c)  perubahan  masyarakat,  dan (d)  perubahan  paradigma  pendidkan.  Ilmu pengetahuan berkembangpesat  dengan  melahirkan  dan mengembangkan  berbagai  teori  bam  untuk  mengungkapkan  kebenaran  dan  pembenaran yang dapat diterima oleh  akal manusia.  Perkembangan  ilmu  pengetahuan  didorong  oleh  sikap  ingin tahu yang kemudian difasilitasi  oleh sikap dan metode ilmiah. Sikap  yang demikian perlu ditanamkan dan  dikembangkan pada diri peserta didik sesuai  dengan  perkembangan  fisik  dan psikologinya.
            Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: 102) Kepala sekolah sebagai administator kiranya harus benar – benar sadar bahwa hingga kini mutu pendidikan kita masih mendapatkan sorotan tajam entah sampai kapan sorotan ini akan berakhir. Tidak ada final untuk mutu, karena takarannya adalah kemajuan ilmu  pengetahuan dan teknologi, dan dinamika umum perkembangan masyarakat.
            Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: hal 103) Administator sekolah yang profesional memiliki kapasitas untuk berubah. Inisiatif untuk meningkatkan mutu pun, meniscayakan kapasitas yang kuat untuk itu. Kapasitas yang dimaksudkan diatas merupakan kombinasi antara aspek individu dan kelembagaan. Kombinasi itu akan menelorkan visi, struktur dan sumber – sumber yang mendukung reformasi pendidikan sekolah. Menurut Diane Masell (1998), ada 7 elemen kapasitas untuk meningkatkan mutu pendidikan persekolahan adalah:
1)      Pengetahuan dan keterampilan guru
Serprti yang dicontohkan jurnal intenasional berikut
      Quantity and Quality of Teachers: By far, the most serious factors eroding quality in the educational system are the quantity and quality of the teachers. The educational system suffers from both. This has been a perennial problem. Teachers are considered as the most important factor in student learning, a bridge between students and quality. Their deficiencies   either   in   knowledge,   pedagogical   skills   or motivation spells doom for the system. These are “among the sore points of basic education in Nigeria” (Tahir, 2001, p.6). At the inception of UPE and UBE, the Federal Government had to resort to crash teacher training to make up for the huge shortfall in teachers for the take-of of both programmes. This group of teachers have compounded the problem of quality in the system because the training is weak and no concrete programme was put in place at school level to improve them. In some countries, teachers are not regarded as qualified until they   undergo   one   year  of  mentoring   under  experienced teachers and then evaluated. In some States in USA, new teachers have to take State examination before employment. In Nigeria, they are treated as finished products.
(www.unilorin.edu.ng Re-Engineering Educational Management For Quality Education In Kwara State, Nigeria International Journal Of Educational Management(Ijem) Volume 3, 2004)
           
2)      Morivasi siswa
3)      Materi kurikulum
4)      Kualitas dan tipe – tipe orang – orang yang mendukung proses pembelajaran di kelas
5)      Kuantitas dan kualitas interaksi para pihak pada tingkat organisasi sekolah
6)      Sumber – sumber material
7)      Organisasi dan alokasi sumber – sumber sekolah di tingkat lembaga.
Dalam peningkatan mutu pendidikan persekolahan kepala sekolah untuk mencapai hal ini sangat mungkin ditemukan sejumlah kendala menurut Eugene Schraffer dkk (1997), diidentifikasi sebagai berikut:
1)      Kemampuan uang yang tidak memadai
2)      Kepemimponan kepala sekolah yang tidak kompeten
3)      Komitmen guru yang rendah
4)      Persepsi negatif dari masyarakat
5)      Penataan staf
6)      Kurikulum
7)      Konflik politik dan rasial
8)      Keterbatasan fasilitas
9)      Komunikasi yang tidak kondusif
            Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: hal 103) Ketuju elemen kapasitas yang tersaji ini memoros langsung pada transformasi kegiatan pembelajaran di kelas. Meski uang bukanlah daya dukung yang mampu menyelesaikan semua persoalan, sumber – sumber keuangan dan besarnya dana pada umunya menjadi kendala dan sumber frustasi khusus bagi para pembaru. Oleh karena keungan secara tradisional berbasis pada masukkan yang bervariasi, misalnya, pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan lain – lain, tetap tidak ada garansi bahwa aliran dana akan terus lancar mendukung usaha – usaha refornasi pendidikan.
            Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: hal 103) Dilihat dari konteks pendidikan persekolahan ada enam strategi yang diterapkan disini. Pertama, membangun komitmen untuk memberi porsi pengganggaran yang lebih besar atau setidaknya secara nisbi memadai bagi keperluan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat reformatif. Kedua, memberi peluang kepada sekolah untuk secara diskresi atau  keleluasaan lebih luas mengatur keuangan secara lebih besar termasuk kewenangan menentukan sumber dan besar masukkan tambahan dari luar sektor pemerintah, dengan tidak memupus harapan siswa untuk bersekolah. Ketiga, menautkan kompensasi terhadap guru dengan tujuan reformasi atau dengan kata lain, menerapkan sistem prestasi bagi guru ke dalam skema reformasi pendidikan. Keempat, penerapan insentif kepada sekolah secara berbasis pada kinerja. Kelima, penerapan kaidah – kaidah akuntabilitas untuk setiap item pembelajaran. Keenam, membangun prakasa dan luncuran atau prakasa yang menghasilkan sejumlah uang (revenue gennerating) demi sustainabilitas reformasi pendidikan.
            Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: hal 104) Pada tingkat Dinas Pendidikan dukungan itu dapat dilakukan dengan menyediakan informasi, membantu sekolah dengan membangun kapasitas melalui pengembangan staf dan pengelolaan keuangan, negosiasi dengan pihak eksternal, dan menggaransi akuntabilitas. Ketika disuarakan, kebijakan reformasi sekolah hendaknya tidak dipersepsi sebagai harus diterima secara apa adanya tidak pula sebagai kebijakan mandatori yang seragam, melainkan yang diutamakan bahwa hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bagi anak – anak. Dengan kata lain reformasi pendidikan harus merucut pada kepentingan pendidikan anak, bukan malah meluas pada rentang peluang – peluang pendidikan meski yang disebut terakhir ini tetap penting. Pelaksanaan reformasi ini  kerap kali melahirkan fenomena kontradiktif, misalnya peningkatan profesionalisme guru berbenturan dengan tuntutan lebih besar dari masyarakat untuk mencampuri urusan akademik dan pemberdayaan para siswa oleh guru berbenturan secara dimetral dengan standart yang telah ditetapkan sebelumya.   



E.     KESIMPULAN
Profesionalisme adalah suatu bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dapat tercapai secara berkesinambungan.
Keberhasilan sekolah dalam mencapai visinya banyak dipengaruhi oleh kemampuan profesional kepala sekolah sebagai unsur yang terpenting di sekolah. Kemampuan profesional kepala sekolah itu akan terlihat dari berbagai upaya kepala sekolah dalam memberdayakan semua sumber daya yang tersedia di sekolah.
Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran kuat dalam mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil apabila mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik, serta mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.
Fungsi kepemimpinan kepala sekolah yaitu: (a) membantu guru memahami, memilih, dan merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai; (b) menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa, dan anggota masyarakat untuk menyukseskan program-program pendidikan di sekolah; (c) menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis, dan nyaman, sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
 Kepala sekolah dalam melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan pada umumnya mengacu pada dua dimensi yaitu berorientasi pada tugas (task oriented), agar tugas-tugas yang diberikan pada bawahan bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi pada tugas, kepala sekolah juga harus menjaga hubungan kemanusiaan dengan bawahannya (berorientasi pada bawahan), agar mereka tetap merasa senang dalam melaksanakan tugasnya.
Guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah harus memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain, kepala sekolah merupakan guru yang mendapat tugas tambahan sebagai “kepala sekolah”. Kriteria tersebut berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi, pengangkatan, masa kerja dan lain – lain.
Faktor  yang  mempengaruhi  mutu  pendidikan termasuk  (a)  perkembangan  ilmu  pengetahuan  dan  teknolgi, (b) pengaruh globalisasi, (c)  perubahan  masyarakat,  dan (d)  perubahan  paradigma  pendidkan.





























DAFTAR PUSTAKA
·         Boloz, Sigmund and Forter Carl. 1980. A Guide to Effective Leadership for The Reservation Administrator. Journal of Amirican Indian Education, Vol 19 p. 1. Diambil dari: http//jaie.asu.edu/v 19/V19S2res.html, tangal 29 Juni 2012.
·         Danim, Sudarwan. 2011. Profesi Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
·         Sitepu, B.P. 2007. Prakarsa Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Proses Pendidikan. Jurnal  Pendidikan  dan  Kebudoyaan,  No. 067, Tahun  Ke- 13. Juli 2007 Diambil dari: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/136707598624.pdf ,tanggal 27 Juni 2012.
·         Ijaiya, N.Y.S. 2004. Re-Engineering Educational Management For Quality Education In Kwara State, Nigeria.International Journal Of Educational Management(Ijem) Volume 3, 2004 Issn: 079447684. Diambil dari:http://www.unilorin.edu.ng/publications/nysijaiya/International%20Journal%20of%20Educational%20Management.doc. tanggal 10 Juni 2012.
·         Klenke, Karin. 2007. Authentic Leadership: A Self, Leader, and Spiritual Identity Perspective. International Journal of Leadership Studies, Vol. 3 Iss. 1, 2007, pp. 68-97 © 2007 School of Global Leadership & Entrepreneurship, Regent University ISSN 1554-3145. Diambil dari: http://search.softonic.com/MON1206T18/tb_v1?SearchSource=2&cc=&q=www.ldi-intl.com++%E2%80%9DAuthentic+Leadership%3A+A+Self%2C+Leader%2C+and+Spiritual+Identity+Perspective%E2%80%9D.+International+Journal+of+Leadership+Studies%2C+Vol.+3+Iss.+1%2C+2007%2C+pp.+68-97 ,tanggal 24 Juli 2012.
·         Kusnandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo.
·         Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah. Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
·         Purwanto, M. Ngalim. 2007. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
·         Sagala, Syaiful. 2002. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung : Alfabeta CV.
·         Sagala, Syaiful. 2011. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Pendidikan. Bandung: Alfabeta
·         Steiner, Lucy and Julie Kowal. 2007. Principal as Instructional Leader Designing a Coaching Program That Fits. The center for comprehensive school reform and improvement, “Principal as Instructional Leader”. September 2007. Diambil dari: http://www.centerforcsri.org/files/CenterIssueBriefSept07Principal.pdf , tanggal 10 Juni 2012.
·         Syafaruddin. 2005. Manajemen Mutu Terpadu dalam Pendidikan. Konsep, Startegi dan Aplikasinya. Jakarta: Grasindo.
·         Yukl, Gary. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. Alih Bahasa Budi Suprianto. Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia.

No comments:

Post a Comment