KEPROFESIONALISME KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH DALAM MENINGKATKAN
MUTU PENDIDIKAN DI SEKOLAH
Oleh
Deni Ermanto & Meylita Sari
Abstrak
Dalam dunia pendidikan kepala sekolah adalah pemegang peranan
penting. Keprofesionalisme kepala sekolah sangatlah dibutukan demi meningkatkan
mutu pendidikan di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah pun sangat berpengaruh
dalam peningkatan mutu yang ditargetkan oleh sekolah. Kreteria kepala sekolah
pun berpengaruh terhadap peningkatan mutu sekolah. Menurut
Syaiful Sagala(2011: hal 124)Kualitas dan produktifitas pemimipin harus mampu
memperhatikan perbuatan profesional yang bermutu. Chaplin (1989) mengemukakan
kemampuan ( competence ) adalah kelayakan untuk melaksanakan tugas, keadaan
mental memberikan kualifikasi seseorang untuk berwewenang dan bertanggung jawab
atas tindakannya atau perbuatannya. Keberhasilan sekolah pengelolaannya
ditentukan oleh kemampuan kepala sekolah,yaitu melakukan pengorganisasian
secara sistematis, dan komitmennya terhadap perbaikan pengelolaan sekolah dalam
wewenangnya dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.
Kata kunci
: profesionalisme, kepemimpinan kepala sekolah, kriteria kepala sekolah,
peningktan mutu
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan bertugas menyelenggarakan proses pendidikan dan
proses belajar mengajar dalam usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam
hal ini kepala sekolah sebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin
sekolah, kepala sekolah bertanggung jawab atas tercapainya tujuan sekolah.
Kepala sekolah diharapkan menjadi pemimpin dari inovator di sekolah. Oleh sebab
itu, kualitas kepemimpinan kepala sekolah adalah signifikan bagi keberhasilan
sekolah. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan untuk memberdayakan seluruh
sumber daya manusia yang ada untuk mencapai tujuan sekolah.
Departemen Pendidikan Nasional memperkirakan 70 persen dari
250 ribu kepala sekolah di Indonesia tidak kompeten. Berdasarkan
ketentuan Departemen, setiap kepala sekolah harus memenuhi lima aspek
kompetensi, yaitu kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan
kewirausahaan. Namun, hampir semua kepala sekolah lemah di bidang kompetensi
manajerial dan supervisi. “Padahal dua kompetensi itu merupakan kekuatan kepala
sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik,” kata Direktur Tenaga Kependidikan
Surya Dharma kepada wartawan di Jakarta kemarin.
Kesimpulan ini merupakan temuan Direktorat Peningkatan Mutu
Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional setelah
melakukan uji kompetensi. Direktorat Peningkatan Mutu melakukan uji kompetensi
berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang
Kompetensi Kepala Sekolah. Lebih dari 400 kepala sekolah dari lima provinsi
mengikuti tes tersebut. Untuk memastikan temuan itu, uji kompetensi kembali
dilakukan pekan lalu terhadap 50 kepala sekolah sebuah yayasan pendidikan. “Hasilnya sama saja,” kata Surya.
Banyaknya kepala sekolah yang kurang memenuhi standar
kompetensi ini tak terlepas dari proses rekrutmen dan pengangkatan kepala
sekolah yang berlaku saat ini. Di sejumlah negara, kata Surya, untuk menjadi
kepala sekolah, seseorang harus menjalani training dengan minimal waktu
yang ditentukan. Ia mencontohkan Malaysia, yang menetapkan 300 jam pelatihan
untuk menjadi kepala sekolah, Singapura dengan standar 16 bulan pelatihan, dan
Amerika, yang menetapkan lembaga pelatihan untuk mengeluarkan surat izin atau
surat keterangan kompetensi.
Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pengangkatan kepala
sekolah menjadi kewenangan penuh bupati atau wali kota. “Kewenangan
tersebut menjadikan bupati atau wali kota seenaknya saja menentukan kepala
sekolah,” ujarnya. Selain itu, proses pengangkatannya jarang disertai
pelatihan. Ia berharap kepala daerah kembali menggunakan standar kompetensi
dalam memilih dan mengangkat kepala sekolah.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia
Yanti Sriyulianti menyatakan perekrutan kepala sekolah memang tidak profesional. Hal itu
bisa dilihat dari banyaknya sekolah yang tidak berkualitas. Ia memberi contoh
perekrutan kepala sekolah di Subang, Jawa Barat, yang cenderung tertutup.
“Proses yang tertutup seperti itu bisa saja terjadi di tempat lain dan dapat
diindikasikan sebagai salah satu bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata
Yanti kemarin. Menurut dia, perlu perubahan manajemen dan regulasi yang lebih
transparan dan akuntabel untuk memperbaikinya.
Agar
fungsi kepemimpinan kepala sekolah berhasil memberdayakan segala sumber daya
sekolah untuk mencapai tujuan sesuai dengan situasi, diperlukan seorang kepala
sekolah yang memiliki kemampuan profesional yaitu: kepribadian, keahlian dasar,
pengalaman, pelatihan dan pengetahuan profesional, serta kompetensi
administrasi dan pengawasan. Kepala sekolah perlu memiliki kemampuan dalam
menciptakan suatu situasi belajar mengajar yang kondusif, sehingga guru-guru
dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik dan siswa dapat belajar dengan
tenang. Di samping itu kepala sekolah dituntut untuk dapat bekerja sama dengan
bawahannya, dalam hal ini guru. Kepala sekolah mampu mengelola dan memberdayakan guru-guru agar terus
meningkatkan kemampuan kerjanya. Dengan peningkatan kemampuan atas segala
potensi yang dimilikinya itu, maka dipastikan guru-guru yang juga merupakan
mitra kerja kepala sekolah dalam berbagai bidang kegiatan pendidikan dapat
berupaya menampilkan sikap positif terhadap pekerjaannya dan meningkatkan
kinerjanya.
PEMBAHASAN
A.
PROFESIONALISME
Kusnandar (2007:46) mengemukakan bahwa “Profesionalisme
adalah kondisi, arah, nilai, tujuan, dan kualitas suatu keahlian dan kewenangan
yang berkaitan dengan mata pencaharian sesseorang”. Sementara Sudarwan Danin
(2002:23) mendefinisikan bahwa: “Profesionalisme adalah komitmen para anggota
suatu profesi untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya dan terus-menerus
mengmbangkan strategi-strategi yang digunakanny dalam melakukan pekerjaan
sesuai dengan profesinya itu Kemudian Freidson (1970) dalam Syaiful Sagala
(2005:199) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan profesionalisme adalah
“sebagai komitmen untuk ide-ide professional dan karir”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme adalah suatu
bentuk komitmen para anggota suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan
mengembangkan kompetensinya yang bertujuan agar kualitas keprofesionalannya
dapat tercapai secara berkesinambungan.
Lucy Steiner and Julie
Kowal(2007) dipenelitiannya mengungkapkan bahwa “Professional development is
instructive with regard to designing and implementing an effective
instructional coaching strategy. It reinforces the need to have coaches work
directly with teachers over time, and it suggests that coaching activities
focused on academic content have a stronger probability of impacting student
learning — the overarching goal of all professional development activities. It
also suggests that coaches are more effective when they are kept in the loop on
other reform efforts so they can align their work with state and district
priorities. This finding presents a scheduling challenge for administrators who
wish to balance the need to have coaches attend meetings and be informed
participants in overall reform efforts with the need to ensure that coaches
have the time they need to work with teachers”. Yang artinya sebagai berikut: “pengembangan profesional adalah instruktif dalam hal
merancang dan menerapkan strategi pembinaan yang efektif instruksional. Ini
memperkuat kebutuhan untuk memiliki pelatih bekerja secara langsung dengan guru
dari waktu ke waktu, dan ini menunjukkan bahwa pembinaan kegiatan difokuskan
pada konten akademik memiliki probabilitas yang lebih kuat mempengaruhi belajar
siswa - tujuan menyeluruh dari semua kegiatan pengembangan profesional. Hal ini
juga menunjukkan bahwa pelatih lebih efektif ketika mereka disimpan di loop
pada upaya reformasi lainnya sehingga mereka dapat menyesuaikan pekerjaan
mereka dengan prioritas negara dan kabupaten. Temuan ini menghadirkan tantangan
penjadwalan untuk administrator yang ingin menyeimbangkan kebutuhan untuk
memiliki pelatih menghadiri pertemuan dan menjadi peserta informasi dalam upaya
reformasi secara keseluruhan dengan kebutuhan untuk memastikan bahwa pelatih
memiliki waktu yang mereka butuhkan untuk bekerja dengan guru”.
Manurut Nina Oktarina (2009) Keberhasilan
sekolah dalam mencapai visinya banyak dipengaruhi oleh kemampuan profesional
kepala sekolah sebagai unsur yang terpenting di sekolah. Kemampuan profesional
kepala sekolah itu akan terlihat dari berbagai upaya kepala sekolah dalam
memberdayakan semua sumber daya yang tersedia di sekolah. Berkaitan dengan
profesional, bahwa secara popular seorang pekerja profesional dalam bahasa
keseharian diberi predikat profesional. Seorang pekerja professional dalam
bahasa keseharian tersebut seorang pekerja yang terampil dan cakap dalam
kerjanya, biarpun ketrampilan atau kecakapan sekedar produk dari fungsi minat
dan belajar dari kebiasaan. Pengertian jabatan professional dituntut menguasai
visi yang mendasari ketrampilannya yang menyangkut wawasan filosofis, pertimbangan
rasional dan memiliki sikap yang positif dalam melaksanakan serta
memperkembangkan mutu karyanya (T. Raka Joni, 1980 : 6). Selanjutnya V.V. Good
(1973 : 440) menjelaskan bahwa ciri pekerjaan yang berkualitas profesional
dituntut memenuhi persyaratan yang telah dibakukan oleh pihak yang berwenang
serta mendapat pengakuan dan masyarakat negara.
Dari uraian-uraian di atas maka
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa suatu jabatan dikatakan profesional karena
telah memenuhi ketiga syarat yang disebutkan di atas. Karena itu secara rinci
jabatan profesional itu dapat ditetapkan sebagai berikut : (1) bagi para
pelakunya secara de. facto dituntut berkecakapan kerja (berkeahlian) sesuai
dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya; (2) Kecakapan
atau keahlian seorang pekerja profesional bukan sekedar hasil pembiasan atau
rutin yang terkondisi, tetapi perlu disadari oleh wawasan keilmuwan yang
mantap, jadi jabatan profesional menuntut pendidikan prajabatan yang terprogram
seara relevan dan berbobot, terselenggara secara efektif dan efisien, dan tolak
ukur evaluatifnya terstandar; (3) pekerja profesional dituntut berwawasan
sosial yang luas sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh kerangka
nilai tertentu bersikap positif terhadap jabatan dan perannya dan bermotivasi
dan berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya. Hal ini akan mendorong pekerja
profesional yang bersangkutan untuk selalu meningkatkan diri serta karyanya.
Orang tersebut secara nyata mencintai profesinya dan memiliki etos kerja yagn
tinggi; dan (4) Jabatan profesional perlu mendapat dari masyarakat atau negara,
dalam hal ini pendapat atau tolak ukur yang dikembangkan oleh organisasi
profesi sepantasnyalah dijadikan acuan. Secara tegas bahwa jabatan profesional
memiliki syarat-syarat serta kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya. Hal
ini akan menjamin kepantasan berkarya dan sekaligus merupakan tanggung jawab
sosial pekerja professional yang bersangkutan.
B.
KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH
Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran
kuat dalam mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua
sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah
merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan visi,
misi, tujuan dan sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil apabila
mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik,
serta mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.
Kepemimpinan biasanya didefinisikan oleh para ahli menurut
pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang
paling baik bagi pakar yang bersangkutan.
Menurut Yukl (2005: 8) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses
yang mempengaruhi orang lain untuk memahami dan setuju dengan apa yang perlu
dilakukan dan bagaimana tugas itu dilakukan secara efektif, serta proses untuk
memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama.
Definisi tersebut mencakup upaya yang tidak hanya untuk mempengaruhi dan
memfasilitasi pekerjaan kelompok atau organisasi yang sekarang tetapi definisi
ini dapat juga digunakan untuk memastikan bahwa semuanya dipersiapkan untuk
memenuhi tantangan masa depan.
Menurut Mulyasa (2003: 107) mengemukakan kepemimpinan adalah
kegiatan untuk mempengaruhi orang-orang yang diarahkan dalam pencapaian tujuan
organisasi. Tye (Boloz and Forter, 1980) mengungkapkan bahwa “leadership is
compused of four dimensions: (1) goal attainment of the school; (2) human
processes with in school; (3) the socio-political context within which the
school operates; (4) self-understanding”. Kepemimpinan disusun oleh empat
dimensi yaitu: (1) pencapaian tujuan sekolah; (2) proses humanisasi di sekolah;
(3) kontek social politik dalam penyelneggaraan sekolah; (4) pemahaman diri.
Menurut Purwanto( 2007: 26)Kepemimpinan adalah kesanggupan atau
teknik untuk membuat sekelompok orang bawahan dalam organisasi formal atau para
pengikut atau simpatisan dalam organisasai informal mengikuti atau mentaati
segala apa yang dikehendaki, membuat bawahan antusias dan mengikuti pemimpin
serta rela berkorban untuknya
Berdasarkan uraian tentang definisi kepemimpinan di
atas, terlihat bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki
seseorang dan pada gilirannya akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak
dipengaruhi. Peranan penting dalam kepemimpinan adalah upaya seseorang yang
memainkan peran sebagai pemimpin guna mempengaruhi orang lain dalam
organisasi/lembaga tertentu untuk mencapai tujuan.
Studi kepemimpinan yang terdiri dari berbagai macam pendekatan
pada hakikatnya merupakan usaha untuk menjawab atau memberikan pemecahan
persoalan tentang kemungkinan seseorang menjadi pemimpin yang baik dan mampu
memajukan organisasi yang dipimpinnya, seperti dijelaskan dalam jurnal:
“…The
research evidence suggests that strong instructional leaders greatly can impact
teaching and learning. There also is increasing recognition that instructional
coaches can play an effective role in improving classroom-level practices. A
natural way for school leaders to take on the role of instructional leader is
to serve as a “chief” coach for teachers by designing and supporting strong
classroomlevel instructional coaching. As explored in the previous issue brief,
it is important to carefully select capable coaches and provide them with appropriate
training. But no element of an instructional coaching program is more important
than its design and fit with the particular needs of each school, its faculty,
and its students. Engaging in the processes outlined previously—determining
goals and needs, selecting a coaching approach that meets these needs, and
sustaining the program with time and support—will help ensure that a coaching
program improves classroom instruction and, ultimately, student learning. It
also builds a principal’s instructional leadership capacity by helping the
principal understand the needs of students and teachers and the best strategies
to meet these needs…”
(www.centerforcsri.org The
center for comprehensive school reform and improvement,
“Principal as Instructional Leader”. September 2007)
Menurut Mulyasa (2003: 108), untuk memahami kepemimpinan, dapat
dikaji dari tiga pendekatan utama yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku
dan pendekatan situasional. Berikut uraian ketiga macam pendekatan tersebut:
a. Pendekatan sifat (the trait approach)
Pendekatan ini dimulai dengan mengadakan perumusan teori
kepemimpinan melalui identifikasi sifat-sifat seorang pemimpin yang berhasil
dalam melaksanakan kepemimpinannnya. Menurut pendekatan sifat, seseorang
menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan karena
dibuat atau dilatih. Seperti dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto (2007: 31):
"The hereditary approach states that leaders are bom and note made-
that leaders do not acquire the ability to lead, but inherit it" yang artinya
pemimpin adalah dilahirkan bukan dibuat bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh
kemampuan untuk memimpin, tetapi mewarisinya.
Menurut Tead dalam Mulyasa (2003:109) menjelaskan, seorang
pemimpin memiliki sifat-sifat bawaan yang membedakannya dari yang bukan
pemimpin. Adapun beberapa syarat yang harus dimiliki pemimpin yaitu: (1)
kekuatan fisik dan susunan syaraf; (2) penghayatan terhadap arah dan tujuan;
(3) antusiasme; (4) keramahtamahan; (5) integritas; (6) keahlian teknis; (7)
kemampuan mengambil keputusan; (8) intelegensi; (9) keterampilan memimpin; (10)
kepercayaan.
Pendekatan sifat tidak mampu menjawab berbagai pertanyaan di
sekitar kepemimpinan. Ketidakmampuan pendekatan ini dalam menjawab pertanyaan
seputar kepemimpinan tersebut menyebabkan banyak kritikan.
b. Pendekatan perilaku (the behavior approach)
Pendekatan ini memfokuskan dan mengidentifikasi perilaku yang khas
dari pemimpin dalam kegiatannya mempengaruhi orang lain. Berkaitan dengan
pendekatan perilaku, Universitas negeri Ohio (Ohio State University)
mengemukakan adanya dua macam perilaku kepemimpinan yaitu initiating
structure (pemrakarsa struktur tugas) dan consideration (perhatian
kepada bawahan). Keefektifan seorang pemimpin terlihat dari dua jenis perilaku
dalam menyelenggarakan tugas-tugas kepemimpinannya. Pertama ialah sampai sejauh
mana seorang pimpinan memberikan penekanan pada peranannya selaku pemrakarsa
struktur tugas yang akan dilaksanakan oleh para bawahannya. Kedua, sampai
sejauh mana dan dalam bentuk apa seorang pimpinan memberikan perhatian kepada
bawahan. Dalam studi ini yang dimaksud dengan pemrakarsa struktur ialah sampai
sejauh mana seorang pimpinan mendefinisikan dan menyusun struktur peranannya
dan peranan bawahannya dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Purwanto (2007: 36) perilaku kepemimpinan pemrakarsa
struktur tugas dan konsiderasi memiliki ciri-ciri yaitu: (1) mengutamakan
tujuan tercapainya organisasi; (2) mementingkan produksi yang tinggi; (3).
mengutamakan penyelesaian tugas menurut jadwal yang telah ditetapkan; (4) lebih banyak melakukan pengarahan; (5)
melaksanakan tugas dengan melalui prosedur kerja yang ketat; (6) melakukan
pengawasan yang ketat; (7) penilaian
terhadap bawahan semata-mata berdasarkan hasil kerja.
Menurut Purwanto (2007: 36) Perilaku kepemimpinan konsiderasi
(perhatian kepada bawahan) yaitu: (1) memperhatikan kebutuhan bawahan; (2)
berusaha menciptakan suasana saling percaya; (3) berusaha menciptakan suasana
saling menghargai; (4) simpati terhadap
perasaan bawahan; (5) memiliki sikap bersahabat; (6) menumbuhkan peran serta
bawahan dalam pembuatan keputusan dan kegiatan lain; (7) mengutamakan
pengarahan diri, disiplin diri, dan pengontrolan diri. Antara kedua perilaku
kepemimpinan tersebut tidak saling bergantung. Artinya pelaksanaan dari
perilaku kepemimpinan yang satu tidak mempengaruhi perilaku yang lain. Antara
perilaku kepemimpinan pemrakarsa struktur tugas dan konsiderasi dapat
dilaksanakan secara bersama-sama. Dengan demikian seorang pemimpin dapat
menganut kepemimpinan struktur tugas sekaligus kepemimpinan konsiderasi.
“…The
model of authentic leadership introduced triumvirate that includes
self-identity, leader-identity, and spiritual identity systems. The
self-identity system encompasses the intrapersonal self defined by internal
dispositions, abilities, and dynamics. The leader identity system reflects the
interpersonal self as defined by the leader’s relationships with others. It
serves as the bridge between the individual and the collective self or social
identity and is associated with group membership and group process (Tajfel
& Turner, 1986). Both the self- and the leader identity systems are
embedded in the spiritual identity system. The model assumes that authentic
leaders are motivated to sustain multiple identities in harmony and congruent
with one another. Brewer (2003) posited that balance or the optimal self can be
achieved by adjusting individual self-construals to be more consistent with the
group prototype by developing a stable leader identity system or by shifting
social identification to a group that is more congruent with the self-identity
system. Finally, the spiritual identity system functions as a superordinate
configuration of behaviors based on transcendent behaviors and values…”
(www.ldi-intl.com ”Authentic Leadership: A Self, Leader, and Spiritual
Identity Perspective”. International Journal of Leadership Studies, Vol. 3
Iss. 1, 2007, pp. 68-97)
Prinsip kepemimpinan menurut hasil Universitas Michigan pada
prinsipnya sama dengan hasil penelitian Universitas Ohio, yaitu adanya
kecenderungan perilaku pemimpin yang berorientasi pada bawahan dan orientasi
produksi (Sondang, 2003: 124). Beberapa perwujudan perilaku pimpinan dengan
orientasi bawahan adalah: penekanan pada hubungan atasan bawahan, perhatian
pribadi pimpinan pada pemuasan kebutuhan para bawahannya, menerima
perbedaan-perbedaan kepribadian, kemampuan dan perilaku yang terdapat dalam
diri bawahan tersebut. Sedangkan perilaku pimpinan dengan orientasi produksi
adalah: cenderung menekankan segi-segi teknis dari pekerjaan yang harus
dilakukan oleh para bawahan dan kurang pada segi manusianya, pertimbangan utama
diletakkan pada terselenggaranya tugas, baik oleh orang per orang dalam satuan
kerja tertentu maupun oleh kelompok-kelompok kerja yang terdapat dalam
organisasi, menempatkan pencapaian tujuan dan penyelesaian tugas di atas
pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut unsur manusia dalam organisasi.
c. Pendekatan situasional (situasional approach)
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku,
keduanya menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini
kepemimpinan lebih merupakan fungsi situasi daripada sebagai kualitas pribadi
dan merupakan suatu kualitas yang timbul karena interaksi orang-orang dalam
situasi tertentu (Mulyasa, 2003: 112). Pendekatan kepemimpinan situasional
dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard berdasarkan teori-teori kepemimpinan
sebelumnya. Tiap organisasi memiliki ciri-ciri khusus dan unik sehingga masalah
yang dihadapi berbeda, situasinya berbeda, dan harus dihadapi dengan perilaku
kepemimpinan yang berbeda sesuai situasi organisasi tersebut.
Teori ini merupakan pengembangan
dari model kepemimpinan tiga dimensi, yang didasarkan pada hubungan antara tiga
faktor, yaitu perilaku tugas (task behavior), perilaku hubungan (relationship
behavior) dan kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan
pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan
tertentu, apa yang harus dikerjakan, bilamana dan bagaimana mengerjakannya,
serta mengawasi mereka secara ketat. Perilaku hubungan merupakan ajakan yang
disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi dua arah yang meliputi mendengar dan
melibatkan anak buah dalam pemecahan masalah. Adapun kematangan adalah
kemampuan dan kemauan anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas
yang dibebankan kepadanya.
Menurut teori ini kepemimpinan
akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat kematangan anak buah. Makin matang
anak buah, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan menambah perilaku
hubungan. Apabila anak buah bergerak mencapai rata-rata tingkat kematangan,
pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya,
pada saat anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan sudah dapat mandiri,
pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang kepada anak buah.
Gaya kepemimpinan yang tepat untuk
diterapkan dalam keempat tingkat kematangan anak buah dan kombinasi yang tepat
antara perilaku tugas dan perilaku hubungan adalah yaitu: gaya mendikte (telling),
gaya menjual (selling), gaya melibatkan diri (participating), gaya
mendelegasikan (delegating)
Mantja (2005: 54) secara lebih
ringkas menyatakan bahwa melalui perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang
mengacu pada perilaku yang berorientasi pada tugas dan perilaku yang
berorientasi pada bawahan, akan membentuk sikap yang berkaitan dengan bagaimana
para guru berperilaku dalam melaksanakan pekerjaannya sehari-hari. Tindakan dan gaya kepemimpinan kepala sekolah
mempengaruhi motivasi memimpin guru dalam menyelenggarakan peran kepemimpinan
secara efektif. Kepala sekolah yang lebih berfungsi sebagai manajer dari pada
pemimpin pengajaran memiliki sekolah-sekolah yang kurang sukses dari pada yang
bekerja secara dekat dengan guru-guru dalam menjalankan tugasnya. Adapun beberapa bentuk tindakan yang dapat dilakukan oleh
kepala sekolah seperti yang dinyatakan oleh Syafarudin (2002: 67) memberikan
otonomi dalam pembelajaran, pengembangan kemampuan serta meningkatkan
penghargaan terhadap pekerjaan guru.
Kepala sekolah dalam melaksanakan
kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan pada umumnya mengacu pada dua dimensi
yaitu berorientasi pada tugas (task oriented), agar tugas-tugas yang diberikan
pada bawahan bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di samping berorientasi
pada tugas, kepala sekolah juga harus menjaga hubungan kemanusiaan dengan
bawahannya (berorientasi pada bawahan), agar mereka tetap merasa senang dalam
melaksanakan tugasnya. Namun derajat perilaku tersebut bervariasi, sehingga ada
kepala sekolah yang memiliki perilaku berorientasi tugas dan perilaku
berorientasi pada bawahan yang keduanya tinggi, tetapi ada pula yang keduanya
rendah dan ada pula yang rendah pada satu perilaku dan tinggi pada perilaku
lainnya. Karena itu berbagai perilaku kepemimpinan kepala sekolah akan
dipersepsi oleh guru sebagai bawahannya dan selanjutnya akan membentuk sikap
atau perasaan yang berkaitan dengan bagaimana mereka berperilaku dalam bekerja
sehari-hari.
C.
KRITERIA KEPALA SEKOLAH
Menurut Sudarwan
Danim dan H. Khairil (2011: 85) Guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala
sekolah harus memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata lain, kepala sekolah
merupakan guru yang mendapat tugas tambahan sebagai “kepala sekolah”. Kriteria
tersebut berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi, pengangkatan, masa kerja dan
lain – lain.
Menurut Sudarwan Danim
dan H. Khairil (2011: 85-86) Di dalam PP No. 19 Tahun 2005 disebutkan syarat –
syarat untuk menjadi kepala sekolah sebagai berikut:
1. Kriteria
untuk menjadi kepala TK/RA meliputi :
a. Berstatus
sebagai guru TK /RA
b. Memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
undang – undang yang berlaku
c. Memiliki
pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 3 (tiga) tahun di TK / RA
d. Memiliki
kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
2.
Kriteria untuk
menjadi kepala SD / MI meliputi
a. Berstatus
sebagai guru SD /MI
b. Memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
undang – undang yang berlaku.
c. Memiliki
pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun di SD /MI
d. Memiliki
kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
3.
Kriteria untuk
menjadi kepala SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK meliputi
a. Berstatus
sebagai guru SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK.
b. Memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
undang – undang yang berlaku.
c. Memiliki
pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun di
SMP/MTs/SMA/MA/SMK/MAK
d. Memiliki
kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
4.
Kriteria untuk
menjadi kepala SDLB/SMPLB/SMALB meliputi
a. Berstatus
sebagai guru pada satuan pendidikan khusus
b. Memiliki
kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran sesuai ketentuan
undang – undang yang berlaku.
c. Memiliki
pengalaman mengajar sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun di satuan pendidikan
khusus
d. Memiliki
kemampuan kepemimpinan dan kewirausahaan di bidang pendidikan.
Persyaratan Kepala Sekolah
Menurut Sudarwan
Danim dan H. Khairil (2011: 100) Dilihat dari sisi persyaratan, Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 13 Tahun 2007 tanggal 17 April 2007 telah
menetapkan standar kepala sekolah / madrasah.
Menurut Sudarwan Danim
dan H. Khairil (2011: hal 100)Standar ini lebih luas dan komprehensif
dibandingkan dengan standar sejenis yang diatur di dalam PP No. 19 Tahun 2005.
Versi Permen ini, standar kepala sekolah/ madrasah di sajikan sebagai berikut:
Standar
Kualifikasi dan Pengalaman
1) Kualifikasi
Kepala Sekolah/ Madrasah terdiri atas Kualifikasi Umum dan Kualifikasi Khusus.
2) Kualifikasi
Umum Kepala Sekolah/ Madrasah adalah sebagai berikut:
a. Memiliki
kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau
non kependidikan pada perguruan yang terakreditasi.
b. Pada
waktu diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi – tingginya 56 tahun.
c. Memiliki
pengalaman belajar sekurang – kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenjang sekolah
masing – masing, kecuali di TK/RA memilki pengalaman mengajar sekurang –
kurangnya 3 ( tiga) tahun.
d. Memiliki
pangkat serendah – rendahnya III/c bagi pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi
non- PNS disertakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau
lembaga yang berwenang.
3) Kualifikasi Khusus Kepala Sekolah/ Madrasah
adalah sebagai berikut:
a. Kepala
Taman Kanak – Kanak/ Radhatul Athfal (TK/RA) adalah sebagai berikut:
v Berstatus
sebagai guru TK/RA
v Memiliki
sertifikasi pendidikan sebagai guru TK/RA
v Memiliki
sertifikasi kepala TK/RA yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan
pemerintah.
b. Kepala
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) adalah sebagai berikut:
v Berstatus
sebagai guru SD/MI
v Memiliki
sertifikasi pendidikan sebagai guru SD/MI
v Memiliki sertifikasi kepala SD/MI yang
diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah.
c. Kepalah
Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTS) adalah sebagai berikut:
v Berstatus
sebagai guru SMP/MTS
v Memiliki
sertifikasi pendidikan sebagai guru SMP/MTS
v Memiliki
sertifikasi kepala SMP/MTS yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan
pemerintah.
d. Kepalah
Sekolah Menengah Atas/ Madrasah Aliyah (SMA/MTs) adalah sebagai berikut:
v Berstatus
sebagai guru SMA/MTs
v Memiliki sertifikasi pendidikan sebagai guru SMA/
MTs
v Memiliki
sertifikasi kepala SMA/MTs yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan
pemerintah.
e. Kepalah
Sekolah Menengah Kejuruan/ Madrasah Aliyah Kejuruan ( SMK/MAK) sebagai berikut:
v Berstatus
sebagai guru SMK/MAK
v Memiliki
sertifikasi pendidikan sebagai guru SMK/ MAK
v Memiliki
sertifikasi kepala SMK/MAK yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan
pemerintah.
f. Kepalah
Sekolah Dasar Luar Biasa/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa/ Sekolah Menengah
Atas Luar Biasa( SDLB/SMPLB/SMALB) adalah sebagai berikut:
v Berstatus
sebagai guru SDLB/SMPLB/SMALB
v Memiliki
sertifikasi pendidikan sebagai guru SDLB/SMPLB/SMALB
v Memiliki
sertifikasi kepala SDLB/SMPLB/SMALB yang diterbitkan oleh lembaga yang
ditetapkan pemerintah.
g. Kepala
Sekolah Indonesia Luar Negeri adalah sebagai berikut:
v Memiliki
pengalaman sekurang – kurangnya 3 tahun sebagai kepala sekolah.
v Memiliki
sertifikasi pendidikan sebagai guru pada salah satu satuan pendidikan.
v Memilki
sertifikasi kepala sekolah yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan
Pemerintah.
D.
PENINGKATAN
MUTU
Menurut
B.P. Sitepu (2007) Terdapat berbagai
pendapat tentang pengertian
mutu pendidikan dan
masing-masing pendapat didasarkan
pada sudut pandang dan kondisi yang berbeda. Sallis (1994)
misalnya, menyebutkin
setidak-tidaknya ada 11 faktor yang
dapat dijadikan acuan
untuk mutu pendidikan,
yaitu: (1) gedung yang terawat baik,
(2) guru yang
bermutu, (3) nilai-nilai
moral yang tinggi,
(4) hasil ujian
yang sangat baik, (5)
spesialisasi program dan produk, (6)
dukungan orang tua, (7) sumber
belajar yang baik,
(8) penerapan teknoloi
yangmutakhir, (9) kepemimpman yang kuat
dm terarah, (10) kepedulian
dan perhatian terhadap
peserta didik, dan (1
1) kurikulum yang
seimbang, atau beberapa kombinasi dari faktor-faktor tersebut.
Sedangkan Morrison, Mohaski & Cotter (2005) menemukan indikator
mutu pendi-dikan yang
diielompokkan ke dalam 10 kategori,
yaitu: (1) lingkungan fisik yang kaya
dan merangsang, (2) iklim kelas yang
kondusif untuk belajar,
(3) harapan yang
jelas dan tinggi
para peserta didik, (4) pembelajaran yang koheren ffan berfokus, (5) wacana ilmiah yang merangsang
pikiran, (6) belajar
otentlk, (7) asesmen
diagnostik belajar yang teratw,
(8) membaca dan menulis sebagai
kegiatan yang reguler, (9)
pemikiran yang matematis, (10) penggunaan teknologi secara efektif.
Menurut
B.P. Sitepu (2007) Faktor yang mempengaruhi
mutu pendidikan termasuk (a) perkembangan
ilmu pengetahuan dan
teknolgi, (b) pengaruh globalisasi, (c)
perubahan masyarakat, dan (d)
perubahan paradigma pendidkan.
Ilmu pengetahuan berkembangpesat
dengan melahirkan dan mengembangkan berbagai
teori bam untuk
mengungkapkan kebenaran dan
pembenaran yang dapat diterima oleh
akal manusia. Perkembangan ilmu
pengetahuan didorong oleh
sikap ingin tahu yang kemudian
difasilitasi oleh sikap dan metode
ilmiah. Sikap yang demikian perlu
ditanamkan dan dikembangkan pada diri
peserta didik sesuai dengan perkembangan
fisik dan psikologinya.
Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: 102) Kepala
sekolah sebagai administator kiranya harus benar – benar sadar bahwa hingga
kini mutu pendidikan kita masih mendapatkan sorotan tajam entah sampai kapan
sorotan ini akan berakhir. Tidak ada final untuk mutu, karena takarannya adalah
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
dan dinamika umum perkembangan masyarakat.
Menurut
Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: hal 103) Administator
sekolah yang profesional memiliki kapasitas untuk berubah. Inisiatif untuk
meningkatkan mutu pun, meniscayakan kapasitas yang kuat untuk itu. Kapasitas
yang dimaksudkan diatas merupakan kombinasi antara aspek individu dan
kelembagaan. Kombinasi itu akan menelorkan visi, struktur dan sumber – sumber
yang mendukung reformasi pendidikan sekolah. Menurut Diane Masell (1998), ada 7
elemen kapasitas untuk meningkatkan mutu pendidikan persekolahan adalah:
1) Pengetahuan
dan keterampilan guru
Serprti yang dicontohkan jurnal
intenasional berikut
Quantity and Quality of Teachers: By far, the most
serious factors eroding quality in the educational system are the quantity and
quality of the teachers. The educational system suffers from both. This has
been a perennial problem. Teachers are considered as the most important factor
in student learning, a bridge between students and quality. Their
deficiencies either in
knowledge, pedagogical skills
or motivation spells doom for the system. These are “among the sore
points of basic education in Nigeria” (Tahir, 2001, p.6). At the inception of
UPE and UBE, the Federal Government had to resort to crash teacher training to
make up for the huge shortfall in teachers for the take-of of both programmes.
This group of teachers have compounded the problem of quality in the system because
the training is weak and no concrete programme was put in place at school level
to improve them. In some countries, teachers are not regarded as qualified
until they undergo one
year of mentoring
under experienced teachers and
then evaluated. In some States in USA, new teachers have to take State
examination before employment. In Nigeria, they are treated as finished
products.
(www.unilorin.edu.ng Re-Engineering Educational
Management For Quality Education In Kwara State, Nigeria International
Journal Of Educational Management(Ijem) Volume 3, 2004)
2) Morivasi
siswa
3) Materi
kurikulum
4) Kualitas
dan tipe – tipe orang – orang yang mendukung proses pembelajaran di kelas
5) Kuantitas
dan kualitas interaksi para pihak pada tingkat organisasi sekolah
6) Sumber
– sumber material
7) Organisasi
dan alokasi sumber – sumber sekolah di tingkat lembaga.
Dalam peningkatan mutu pendidikan
persekolahan kepala sekolah untuk mencapai hal ini sangat mungkin ditemukan
sejumlah kendala menurut Eugene Schraffer dkk (1997), diidentifikasi sebagai
berikut:
1) Kemampuan
uang yang tidak memadai
2) Kepemimponan
kepala sekolah yang tidak kompeten
3) Komitmen
guru yang rendah
4) Persepsi
negatif dari masyarakat
5) Penataan
staf
6) Kurikulum
7) Konflik
politik dan rasial
8) Keterbatasan
fasilitas
9) Komunikasi
yang tidak kondusif
Menurut Sudarwan
Danim dan H. Khairil (2011: hal 103) Ketuju elemen kapasitas yang
tersaji ini memoros langsung pada transformasi kegiatan pembelajaran di kelas.
Meski uang bukanlah daya dukung yang mampu menyelesaikan semua persoalan,
sumber – sumber keuangan dan besarnya dana pada umunya menjadi kendala dan
sumber frustasi khusus bagi para pembaru. Oleh karena keungan secara tradisional
berbasis pada masukkan yang bervariasi, misalnya, pemerintah, masyarakat, dunia
usaha, dan lain – lain, tetap tidak ada garansi bahwa aliran dana akan terus
lancar mendukung usaha – usaha refornasi pendidikan.
Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011:
hal 103) Dilihat dari konteks pendidikan persekolahan ada enam strategi
yang diterapkan disini. Pertama, membangun
komitmen untuk memberi porsi pengganggaran yang lebih besar atau setidaknya
secara nisbi memadai bagi keperluan penyelenggaraan pendidikan yang bersifat
reformatif. Kedua, memberi peluang
kepada sekolah untuk secara diskresi atau
keleluasaan lebih luas mengatur keuangan secara lebih besar termasuk
kewenangan menentukan sumber dan besar masukkan tambahan dari luar sektor
pemerintah, dengan tidak memupus harapan siswa untuk bersekolah. Ketiga, menautkan kompensasi terhadap
guru dengan tujuan reformasi atau dengan kata lain, menerapkan sistem prestasi
bagi guru ke dalam skema reformasi pendidikan. Keempat, penerapan insentif kepada sekolah secara berbasis pada
kinerja. Kelima, penerapan kaidah –
kaidah akuntabilitas untuk setiap item pembelajaran. Keenam, membangun prakasa dan luncuran atau prakasa yang
menghasilkan sejumlah uang (revenue gennerating) demi sustainabilitas reformasi
pendidikan.
Menurut Sudarwan Danim dan H. Khairil (2011: hal 104) Pada
tingkat Dinas Pendidikan dukungan itu dapat dilakukan dengan menyediakan
informasi, membantu sekolah dengan membangun kapasitas melalui pengembangan
staf dan pengelolaan keuangan, negosiasi dengan pihak eksternal, dan
menggaransi akuntabilitas. Ketika disuarakan, kebijakan reformasi sekolah
hendaknya tidak dipersepsi sebagai harus diterima secara apa adanya tidak pula
sebagai kebijakan mandatori yang seragam, melainkan yang diutamakan bahwa hal
itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bagi anak – anak. Dengan kata lain
reformasi pendidikan harus merucut pada kepentingan pendidikan anak, bukan
malah meluas pada rentang peluang – peluang pendidikan meski yang disebut
terakhir ini tetap penting. Pelaksanaan reformasi ini kerap kali melahirkan fenomena kontradiktif,
misalnya peningkatan profesionalisme guru berbenturan dengan tuntutan lebih
besar dari masyarakat untuk mencampuri urusan akademik dan pemberdayaan para
siswa oleh guru berbenturan secara dimetral dengan standart yang telah
ditetapkan sebelumya.
E.
KESIMPULAN
Profesionalisme adalah suatu bentuk komitmen para anggota
suatu profesi untuk selalu meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya yang
bertujuan agar kualitas keprofesionalannya dapat tercapai secara
berkesinambungan.
Keberhasilan
sekolah dalam mencapai visinya banyak dipengaruhi oleh kemampuan profesional
kepala sekolah sebagai unsur yang terpenting di sekolah. Kemampuan profesional
kepala sekolah itu akan terlihat dari berbagai upaya kepala sekolah dalam
memberdayakan semua sumber daya yang tersedia di sekolah.
Kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah bukan hanya memiliki peran
kuat dalam mengkoordinasikan melainkan juga menggerakkan dan menyerasikan semua
sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah
merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk mewujudkan visi,
misi, tujuan dan sasaran sekolahnya. Kepala sekolah dikatakan berhasil apabila
mereka memahami keberadaan sekolah sebagai organisasi yang kompleks dan unik,
serta mampu melaksanakan perannya dalam memimpin sekolah.
Fungsi kepemimpinan kepala sekolah yaitu: (a) membantu guru
memahami, memilih, dan merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai; (b)
menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa, dan anggota masyarakat untuk
menyukseskan program-program pendidikan di sekolah; (c) menciptakan sekolah
sebagai suatu lingkungan kerja yang harmonis, sehat, dinamis, dan nyaman,
sehingga segenap anggota dapat bekerja dengan penuh produktivitas dan
memperoleh kepuasan kerja yang tinggi.
Kepala sekolah dalam
melaksanakan kepemimpinannya, sebagaimana kepemimpinan pada umumnya mengacu
pada dua dimensi yaitu berorientasi pada tugas (task oriented), agar
tugas-tugas yang diberikan pada bawahan bisa dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya. Di samping berorientasi pada tugas, kepala sekolah juga harus
menjaga hubungan kemanusiaan dengan bawahannya (berorientasi pada bawahan),
agar mereka tetap merasa senang dalam melaksanakan tugasnya.
Guru yang diberi tugas
tambahan sebagai kepala sekolah harus memenuhi kriteria tertentu. Dengan kata
lain, kepala sekolah merupakan guru yang mendapat tugas tambahan sebagai
“kepala sekolah”. Kriteria tersebut berkaitan dengan kualifikasi, kompetensi,
pengangkatan, masa kerja dan lain – lain.
Faktor yang
mempengaruhi mutu pendidikan termasuk (a)
perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknolgi, (b) pengaruh globalisasi,
(c) perubahan masyarakat,
dan (d) perubahan paradigma
pendidkan.
DAFTAR
PUSTAKA
·
Boloz, Sigmund and Forter Carl.
1980. A Guide to Effective
Leadership for The Reservation Administrator. Journal of Amirican Indian Education, Vol 19 p. 1. Diambil dari:
http//jaie.asu.edu/v 19/V19S2res.html, tangal 29 Juni 2012.
·
Danim, Sudarwan. 2011. Profesi Pendidikan.
Bandung: Alfabeta.
·
Sitepu, B.P. 2007. Prakarsa
Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Proses Pendidikan. Jurnal
Pendidikan dan Kebudoyaan,
No. 067, Tahun Ke- 13. Juli 2007 Diambil
dari: http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/136707598624.pdf ,tanggal 27 Juni 2012.
·
Ijaiya, N.Y.S. 2004. Re-Engineering Educational
Management For Quality Education In Kwara State, Nigeria.International
Journal Of Educational Management(Ijem) Volume 3, 2004 Issn: 079447684. Diambil
dari:http://www.unilorin.edu.ng/publications/nysijaiya/International%20Journal%20of%20Educational%20Management.doc.
tanggal 10 Juni 2012.
·
Klenke, Karin.
2007. Authentic Leadership: A Self, Leader, and Spiritual Identity
Perspective. International Journal of Leadership Studies, Vol. 3 Iss. 1,
2007, pp. 68-97 © 2007 School of Global Leadership & Entrepreneurship,
Regent University ISSN 1554-3145. Diambil dari: http://search.softonic.com/MON1206T18/tb_v1?SearchSource=2&cc=&q=www.ldi-intl.com++%E2%80%9DAuthentic+Leadership%3A+A+Self%2C+Leader%2C+and+Spiritual+Identity+Perspective%E2%80%9D.+International+Journal+of+Leadership+Studies%2C+Vol.+3+Iss.+1%2C+2007%2C+pp.+68-97
,tanggal 24 Juli 2012.
·
Kusnandar. 2007. Guru Profesional. Jakarta: PT Raja
Grafindo.
·
Mulyasa, E. 2004. Manajemen Berbasis
Sekolah. Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
·
Oktarina, Nina.
2009. Profesionalisme Kepala Sekolah Dalam Pengelolaan Pendidikan
Untuk Mewujudkan Sekolah Efektif. Jurnal Pendidikan Ekonomi Vol 4 No.1
Juli, Tahun 2009. Diambil dari: http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=profesionalisme%20kepala%20sekolah%20dalam%20pengelolaan%20pendidikan%20untuk%20%E2%80%8Emewujudkan%20sekolah%20efektif.%20jurnal%20pendidikan%20ekonomi%20vol%204%20no.1%20juli%2C%20tahun%20%E2%80%8E%E2%80%8E2009%E2%80%8E&source=web&cd=1&ved=0CEsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fjournal.unnes.ac.id%2Findex.php%2FDP%2Farticle%2Fdownload%2F367%2F349&ei=BwT7T8apN87jrAea1JnJBg&usg=AFQjCNHgrf1poXy8g8aBvrSxOyeH-rzpWQ&cad=rja, tanggal 10 Juni 2012.
·
Purwanto, M. Ngalim. 2007. Administrasi
dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
·
Sagala, Syaiful. 2002. Administrasi Pendidikan
Kontemporer. Bandung : Alfabeta CV.
·
Sagala, Syaiful. 2011. Kemampuan Profesional Guru dan
Tenaga Pendidikan. Bandung: Alfabeta
·
Steiner, Lucy
and Julie Kowal. 2007. Principal as Instructional Leader Designing a
Coaching Program That Fits. The center for comprehensive school reform and improvement, “Principal as Instructional
Leader”. September 2007. Diambil dari: http://www.centerforcsri.org/files/CenterIssueBriefSept07Principal.pdf
, tanggal 10 Juni 2012.
·
Syafaruddin. 2005. Manajemen Mutu Terpadu
dalam Pendidikan. Konsep, Startegi dan Aplikasinya. Jakarta: Grasindo.
·
Yukl,
Gary. 2005. Kepemimpinan dalam Organisasi. Alih Bahasa Budi Suprianto.
Jakarta: Indeks Kelompok Gramedia.
- · (http://www.artikelbagus.com/2011/12/kepala-sekolah-tidak bekompoten.html/ 6Juni2012). tanggal 6 juni 2012.
No comments:
Post a Comment